Ucap Lagi Janji Itu |
Janji hati di satu Ramadhan berteriak bising liar merambati denyut nadi kala cahaya pertama Ramadhan datang menyerbu
Janji hati sekali lagi, satu yang terbaik untuk dipersembahkan
mungkin menjadi yang terakhir
karena nafas ini milikMu
Tak ada isyarat akan ada lagi sisa usia esok hari
Gelora membara memanasi sukma di awal Ramadhan
Nyala berkibar hangat menelusup pori-pori raga
Janji itu tergenggam kuat semakin hangat membalut hati
Tak ingin Ramadhan berlalu sia-sia
Hanya yang terbaik, begitu janji hati di Ramadhan pertama
Dua ramadhan.. belum juga
Tiga.. empat.. belum juga
Sepuluh.. nyala api meredup kayu hampir habis
Menangis di ujung malam..
Namun tak jua beranjak ke hutan untuk mencari kayu bakar
Hanya diam berharap api takkan padam
Kayu hampir musnah lenyap dari pandangan, bara kehilangan panas
Masih saja menatap bodoh pada sang redup
berharap bara kecil memerahkan sunyi
Janji itu terlempar jauh mendekati kaki iblis yang menyeringai
Terus berbisik, di sini saja jangan pergi mencari apapun untuk menahan nyala api
Masih ada bara kecil warna merahnya masih mengintip mesra
Lalu tersadar waktu telah habis di akhir Ramadhan
Terlambat, bara itu telah padam
Menangis diujung malam..
Tahun depan masih adakah waktu? Masih tiada malu berharap diberi satu tahun lagi.
Buat lagi satu janji hati..
Kau Maha pengampun dan aku terlalu bebal.
Ambar Setyawati
Samigaluh, 12 April 2022
2. Pekat Jiwa
Terjaga di pekat malam Ramadhan hingga kokok ayam meneriakkan hari baru
Bulir cahaya merambat pelan memberi isyarat fajar hendak menggantikan malam yang lebih baik dari seribu bulan
Mengabarkan hari telah berganti seraya membisikkan rebahku usai sudah
Masih ingin terbaring memeluk lelap meresapi rahmat kantukMU untuk menyempurnakan rebah
Hingga aku tak cemas menjalani esok hari yang bermain di kelopak mata begitu sarat beban berat bertengger di pundak
Ada sesuatu yang hendak Kau sampaikan kala mata tak mampu lagi terpejam dalam sunyi pekat gulita
Aku terlalu bebal memahami
Tak jua kusentuh air wudhu itu.
Ia merindukan usapan jemariku
Tak ku rengkuh jua sajadah tengah malam lailatul qodar
Ia putus asa menungguku, menangis menanti hadirku di sana
Noktah perak cahaya kecil samar mengintip
Menguliti legam sang malam yang tak sudi lagi menyelimuti bumi
Iblis terus menahanku hingga terus saja memeluk erat bantal hangat tempat bersandar letih itu
Nyaman mengikuti setiap bisikannya yang hendak menjauhkanku dari kemuliaan
Aku tahu pasti
Rayuannya akan berakhir dengan gelak tawa penuh seringai menyala kejam yang teramat jauh dari kasih sayang
Tidak..
Tak rela
Kali ini biar aku yang menang
Ambar Setyawati
Samigaluh, 12 April 2022
Ambar Setyawati lahir di Jakarta 17 Oktober 1973. Lulusan Sastra Arab UI Jakarta (1995) dan Pendidikan Bahasa Inggris UT Jakarta (2001). Sejak tahun 1997 aktif mengajar Bahasa Inggris dan Seni Budaya di beberapa sekolah di Jakarta. Kadang mengajar matematika secara privat. Tahun 2011 meninggalkan Jakarta dan mengajar di SMK Ma’arif 1 Nanggulan. Karya dari alumni workshop Belajar Menulis Sastra Jati Moncol ini masuk di beberapa buku Antologi baik berupa puisi maupun Cerpen. Di antaranya adalah Kluwung Lukisan Maha Cahaya (2020), Suara Hati Guru di Masa Pandemi (2020), Logophile Nadir (2020), Bukan Kasat Mata (2021)