Sajak Seorang Penyair Kepada Perempuan Yang Hampir Jadi Pacarnya
Masih adakah yang tersisa
Dari jalan sepanjang Purwokerto-Madiun Madiun-Purwokerto
Selain siang yang berpindah sore
Dan selain malam berganti pagi
Yang semuanya terasa begitu malam
Aku tidak melihat matahari terbit
Atau matahari tenggelam
Sebab langit-langit telah runtuh
Setelah kabar pertunanganmu
Di sepanjang jalan Purwokerto-Madiun Madiun-Purwokerto
Lubang-lubang jalan kalah bobrok
Dengan luka batin yang koyak
Aku telah jauh-jauh ke kotamu
Bersama rasa kantuk dan lelah badan
Semata-mata bukan hanya untuk
Menemui pagar rumahmu yang beku
Aku ingin menyembuhkan ingatan bahwa
Tidak ada apa-apa di antara kedekatan kita
Dan kesenangan kemarin hanyalah profesionalitas kerja semata.
Aku berdiri di depan pintu pagar rumahmu
Lampu teras masih menyala
Tapi tujuh kali aku mengetuk telfonmu
Tujuh kali pula kau menolak telfonku
WhatsAppmu online dan pesanku centang dua biru
Tapi pintu pagar tetap dingin dan beku.
Setelah tujuh menit berselang
Dari puntung ke lima yang kubuang
Akhirnya aku harus pulang
Dengan membawa kekosongan yang penuh.
Aku tidak menyesal menyusur jalan Purwokerto-Madiun
Madiun-Purwokerto dalam semalam
Meski begitu terasa kantuk dan lelah badan
Lubang-lubang sembarangan
Atau bensin yang menguras sisa-sisa uang gajian
Aku tidak menyesal menyusur jalan Purwokerto-Madiun Madiun-Purwokerto
Sebab setelah pulang dari kotamu,
Purwokerto telah menjadi ruang baru;
Sebuah museum lapang
yang menyimpan kau dan aku.
Purwokerto, Juni 2021
Dewandaru Ibrahim Senjahaji, seseorang yang masih belajar menulis. Berproses di Sekolah Penulisan Sastra Peradaban (SKSP) UIN SAIZU Purwokerto. Pernah menjadi teman belajar anak-anak SMK Tujuh Lima 1 Purwokerto, sekarang menjadi kawan belajar anak-anak SMKN 2 Purwokerto. No. WA : 08975837007 Facebook: Dewandaru Ibrahim